[Resensi Novel] Negeri 5 Menara karya A. Fuadi
Negeri 5 Menara merupakan buku pertama dari novel trilogi karya A. Fuadi yang bercerita tentang kehidupan di Pondok Pesantren.
Judul: Negeri 5 Menara
Pengarang: A. Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 345
Novel ini merupakan novel trilogi pertama dari Novel Negeri 5 Menara. Dengan tokoh utama Alif Fikri seorang anak dari pinggiran Danau Maninjau, Sumatera Barat yang baru lulus Madrasah Sanawiyah berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke SMA negeri. Karena dia bersama teman masa kecilnya Randai bercita-cita kuliah di ITB. Supaya kelak bisa seperti BJ Habibie yang bisa membuat pesawat terbang.
Baca juga novel trilogi yang lain yaitu berjudul Rantau 1 Muara
Sayangnya keinginan Alif tersebut tidak disetujui oleh emaknya yang berkeinginan supaya dia sekolah agama di pesantren. Emak Alif berpendapat kalau selama ini pesantren selalu identik dengan anak nakal dan anak miskin. Sehingga emaknya takut para pemimpin agama berasal dari kalangan yang tidak benar. Dengan kepintaran Alif, emaknya berkeinginan supaya dia bisa menjadi seorang ulama seperti Buya Hamka.
Dengan terpaksa akhirnya Alif memilih pesantren di Jawa. Tepatnya di Pondok Madani, Gontor. Sebuah pesantren di kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Meskipun pada awalnya merasa terpaksa memasuki pesantren, namun lama kelamaan dia mulai kerasan. Apalagi setelah bertemu dengan teman- teman baru dari berbagai suku.
Ada 6 anak yang selalu bersama dengan Alif dalam segala aktifitas di pesantren. Mereka adalah Baso seorang anak yatim piatu yang diasuh neneknya, berasal dari Sulawesi. Raja berasal dari Aceh. Dulmajid dari pulau Garam, Madura. Atang dari Bandung dan Said berasal dari Surabaya.
Keenam anak tersebut hampir tiap hari berada di bawah menara Pondok pesantren. Tepatnya disamping masjid. Mereka menggunakan tempat itu untuk belajar dan berdiskusi tentang berbagai hal dalam kehidupan. Karena seringnya mereka berada di bawah menara, akhirnya mereka dijuluki sohibul menara atau yang mempunyai menara.
Pada suatu waktu dari bawah menara mereka memperhatikan langit yang diwarnai berbagai bentuk awan. Menurut mereka awan-awan tersebut menggambar pola negara. Menurut Alif, awan tersebut seperti negara America. Atang mengatakan seperti Mesir. Raja mengatakan seperti bentuk negara Belanda. Sementara Said, Baso serta Dulmajid mengatakan seperti negara Indonesia.
Saat ujian akhir sekitar 6 bulan lagi, Baso memutuskan mengundurkan diri dari pondok pesantren karena ingin mengasuh neneknya yang sedang sakit parah. Bagi Baso merawat neneknya jauh lebih penting karena hanya beliaulah keluarga yang tersisa bagi dia.
Meskipun berat melepaskan Baso, tetapi kelima sahabat tersebut tetap semangat untuk menyelesaikan pendidikan di pondok. Dengan berbagai kesulitan yang dihadapi.
Setelah beberapa tahun lulus dari pesantren, keinginan mereka ternyata tercapai yaitu Alif bisa belajar di Amerika. Raja kuliah sambil bekerja di Belanda. Begitu juga Atang bisa menginjakkan kaki di Mesir untuk bekerja dan belajar. Sementara Said dan Dulmajid bekerja sama mengembangkan pondok pesantren yang mereka dirikan. Sedangkan Baso meskipun tidak lulus pesantren dia mampu menjadi hafizh Alquran, sehingga memperoleh beasiswa penuh dari negara Arab.
Pengarang: A. Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 345
Bermimpilah setinggi langit. Meskipun kita tidak pernah tahu bagaimana cara meraih mimpi tersebut. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dikemudian hari.
Novel ini merupakan novel trilogi pertama dari Novel Negeri 5 Menara. Dengan tokoh utama Alif Fikri seorang anak dari pinggiran Danau Maninjau, Sumatera Barat yang baru lulus Madrasah Sanawiyah berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke SMA negeri. Karena dia bersama teman masa kecilnya Randai bercita-cita kuliah di ITB. Supaya kelak bisa seperti BJ Habibie yang bisa membuat pesawat terbang.
Baca juga novel trilogi yang lain yaitu berjudul Rantau 1 Muara
Sayangnya keinginan Alif tersebut tidak disetujui oleh emaknya yang berkeinginan supaya dia sekolah agama di pesantren. Emak Alif berpendapat kalau selama ini pesantren selalu identik dengan anak nakal dan anak miskin. Sehingga emaknya takut para pemimpin agama berasal dari kalangan yang tidak benar. Dengan kepintaran Alif, emaknya berkeinginan supaya dia bisa menjadi seorang ulama seperti Buya Hamka.
Dengan terpaksa akhirnya Alif memilih pesantren di Jawa. Tepatnya di Pondok Madani, Gontor. Sebuah pesantren di kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Meskipun pada awalnya merasa terpaksa memasuki pesantren, namun lama kelamaan dia mulai kerasan. Apalagi setelah bertemu dengan teman- teman baru dari berbagai suku.
Ada 6 anak yang selalu bersama dengan Alif dalam segala aktifitas di pesantren. Mereka adalah Baso seorang anak yatim piatu yang diasuh neneknya, berasal dari Sulawesi. Raja berasal dari Aceh. Dulmajid dari pulau Garam, Madura. Atang dari Bandung dan Said berasal dari Surabaya.
Keenam anak tersebut hampir tiap hari berada di bawah menara Pondok pesantren. Tepatnya disamping masjid. Mereka menggunakan tempat itu untuk belajar dan berdiskusi tentang berbagai hal dalam kehidupan. Karena seringnya mereka berada di bawah menara, akhirnya mereka dijuluki sohibul menara atau yang mempunyai menara.
Pada suatu waktu dari bawah menara mereka memperhatikan langit yang diwarnai berbagai bentuk awan. Menurut mereka awan-awan tersebut menggambar pola negara. Menurut Alif, awan tersebut seperti negara America. Atang mengatakan seperti Mesir. Raja mengatakan seperti bentuk negara Belanda. Sementara Said, Baso serta Dulmajid mengatakan seperti negara Indonesia.
Saat ujian akhir sekitar 6 bulan lagi, Baso memutuskan mengundurkan diri dari pondok pesantren karena ingin mengasuh neneknya yang sedang sakit parah. Bagi Baso merawat neneknya jauh lebih penting karena hanya beliaulah keluarga yang tersisa bagi dia.
Meskipun berat melepaskan Baso, tetapi kelima sahabat tersebut tetap semangat untuk menyelesaikan pendidikan di pondok. Dengan berbagai kesulitan yang dihadapi.
Setelah beberapa tahun lulus dari pesantren, keinginan mereka ternyata tercapai yaitu Alif bisa belajar di Amerika. Raja kuliah sambil bekerja di Belanda. Begitu juga Atang bisa menginjakkan kaki di Mesir untuk bekerja dan belajar. Sementara Said dan Dulmajid bekerja sama mengembangkan pondok pesantren yang mereka dirikan. Sedangkan Baso meskipun tidak lulus pesantren dia mampu menjadi hafizh Alquran, sehingga memperoleh beasiswa penuh dari negara Arab.
Novel trilogi yang lain berjudul Ranah 3 Warna
Dari novel ini kita bisa banyak mengerti tentang kehidupan di pondok pesantren. Bagaimana mereka belajar, melakukan kegiatan extra serta kegiatan lain yang sangat padat jadwalnya. Karena sebagian cerita merupakan pengalaman pribadi penulisnya yaitu A. Fuadi, yang pernah mendalami ilmu di Pondok Madina.
Novel Negeri 5 Menara ini merupakan novel motivasi untuk semua kalangan. Terutama untuk anak remaja yang masih bingung mencari jati diri. Karena terkadang mereka takut bermimpi melihat keadaan mereka saat itu. Padahal dengan mimpilah kita bisa merubah keadaan yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Dari novel ini kita bisa banyak mengerti tentang kehidupan di pondok pesantren. Bagaimana mereka belajar, melakukan kegiatan extra serta kegiatan lain yang sangat padat jadwalnya. Karena sebagian cerita merupakan pengalaman pribadi penulisnya yaitu A. Fuadi, yang pernah mendalami ilmu di Pondok Madina.
Novel Negeri 5 Menara ini merupakan novel motivasi untuk semua kalangan. Terutama untuk anak remaja yang masih bingung mencari jati diri. Karena terkadang mereka takut bermimpi melihat keadaan mereka saat itu. Padahal dengan mimpilah kita bisa merubah keadaan yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Pembahasan Novel Negeri 5 Menara Lengkap Mba, waktu saya jalan jalan ke Gramedia sempat lihat juga ini buku terpajang di etalase Gramedia cuman buka buka saja dan baca sekilas, bukunya memang menarik.
BalasHapusPadahal cuma baca-baca sekilas. Apalagi kalau baca seluruhnya. Pasti jauh lebih asyik..:-)
HapusWaaah bagus ya..
BalasHapusSaya beli udah lama belum dibaca juga huhu.
nanti pulang kerja mau baca ah. Mau bikin resensi juga kayak mbak elin udah lamaa banget ga nulis resensi buku
Iya. Lumayan bisa nambah satu blog post...:-)
HapusDari novel ini saya tahu kalau semakin ke timur, rendang di rumah makan padang semakin kehilangan pedasnya hiihi
BalasHapusSemakin berasa manisnya...:)
HapusKa ucapan ust. Salman pada muridnya tentang pedoman hidup. Apa aja ya ka?
BalasHapus